Sabtu, 05 Mei 2012

[Cerpen] Dunia Yang Berbeda

Kelas 8-1
Dunia yang Berbeda
Apa yang kau tahu tentang dunia?
Uang? Kuasa?
Apa, kawan
Bangsaku meratap
Mereka yang di atas
Menutup telinganya
Mereka yang terinjak
Merintih
Pernahkah kau renungkan?
Kau menggeleng

“Mia, dulu saat kau lahir, bangsa kita sedang bergejolak, kau lahir di tengah masa sulit, maka aku berharap, kau akan tumbuh menjadi gadis yang kuat.” Itu kata ayah padaku saat umurku 5 tahun. Entah bagaimana, sampai sekarang kata-kata itu masih terngiang di benakku.
Aku siswi SMP kelas 8. Sekolahku? Sebuah sekolah mentereng, yang aku dapat masuk ke sini karena sebuah keberuntungan. Aku masuk ke kelas yang di dalamnya, bebagai macam anak ada. Salah satunya adalah Riko.

Riko. Seorang cowok brutal. Autis, kata beberapa anak. Tak bisa diam, mudah marah, labil, sadis... ah... tipikal anak berandalan. Entah bagaimana ia bisa masuk ke sini. Aku dengar ia pandai bermusik. But, who knows? Tak ada seorang pun yang pernah mendengarnya bermain musik.
Aku sendiri, juga bukan anak baik sih. Tak pernah mau belajar jika di rumah. Membantu orang lain pun hanya sesekali, jika terpaksa. Nakal, mungkin. Tapi sebenarnya bukan itu. Aku hanya... kesepian.
Ayahku meninggal 3 tahun lalu. Ibuku, meninggal saat melahirkan aku. Sekarang aku tinggal sendirian. Hanya terkadang saudaraku datang dan menengokku. Biaya hidupku ditanggung kantor tempat ayahku bekerja dulu. Di sekolah? Aku selalu di-bully secara mental. Teman-temanku menghinaku sebagai anak yatim yang hidup dari belas kasihan orang lain. Ada juga yang mengataiku freak karena aku tak punya teman. Well, hidupku bukan jenis hidup bahagia yang sering diceritakan di komik-komik jepang yang aku baca. Oh iya, aku adalah seorang Otaku atau penggemar manga dan anime jepang. Itu membuatku semakin freak di mata mereka. Mungkin satu-satunya anak yang dianggap sama freak nya dengan aku hanya Riko. Tapi dia cowok, cowok berpikir dengan otak, bukan merasakan dengan hati.
***
Satu lagi hari tak bermakna.
Hari ini kelasku mendapat tugas menulis tentang keluarga. Salah seorang teman ku langsung berseru dengan lantang
“Wah... kalo ada yang gak punya keluarga gimana nih?”. Seruan itu disambut tawa teman-teman sekelasku.
Oh, kecuali Riko. Dia tak pernah ikut membullyku, mungkin karena dia terlalu tak peduli. Autis seperti kata mereka. Tak ada seorang pun temanku yang berniat membully Riko, mungkin mereka takut dengan cowok yang satu itu.
Aku belum belanja untuk minggu ini. Ah... sekalian ke supermarket saja.
“Riko?”
Aku melihat Riko keluar dari supermarket. Dia membawa masing-masing sebuah tas belanja besar di kedua tangannya. Kemudian aku melihat ia masuk ke sebuah angkot.
“Mau kemana dia?”
Tanpa sadar, aku mengikutinya. Aku naik ke angkot setelah angkotnya. Ia turun di sebuah perkampungan kumuh.
“Mau apa dia?”
Dia terus berjalan masuk ke kampung itu. Jauh ke dalam. Aku mengikuti dalam diam, bingung dengan apa yang kulihat. Terjebak dalam pikiranku.
Langkahku terhenti. Mataku terpaku. Aku ternganga.
Riko. Riko yang autis dan sadis. Riko yang tak pernah peduli pada orang lain. Ini adalah tempat terakhir yang mungkin dia kunjungi.
Sekolah gubuk.
Kulihat Riko disambut anak-anak yang sudah ada di situ. Mereka semua berseru kegirangan. Riko tersenyum senang sambil mengangkat kantong belanjaannya. Anak-anak yang ada di situ menyerbu kantong itu dengan bersemangat. Tahulah aku apa isinya.
Kantong pertama berisi banyak roti. Masing-masing anak mendapat satu. Kantong kedua berisi beberapa buku dan mainan. Sederhana memang, tapi tak pernah aku lihat wajah yang lebih bahagia daripada itu selama aku hidup.
“Mia?”
Riko berseru kaget. Aku gelagapan.
“Eh... ehehehe... hai Rik!” jawabku sambil nyengir.
“Ngapain kamu di sini?”
“Ehe... ng... Aku... aku...” aku mulai bingung. Ini perasaan manusia hidup pertama setelah bertahun-tahun. Selama ini hidupku suram. Marah, frustasi, suram, kelam hanya itu yang aku rasakan. Perasaan ini menggelitikku. Aku merindukan perasaan ini.
“Aku apa?” bentak Riko.
“ Aku... tadi nggak sengaja lihat kamu di supermarket. Terus aku penasaran, aku ikutin deh. Ehehe... sorry yah... bukan maksud apa-apa lho...”
“Oh...”
“Kamu sendiri, ng... ngapain di sini?” tanyaku ragu-ragu
“Aku suka main di sini, sama anak-anak di sini...” jawabnya. Matanya sibuk mengawasi anak-anak itu.
“Ini sekolah gubuk kan?” tanyaku
“Iya, itu anak-anak putus sekolah, terkadang di sini ada guru yang mengajar sukarela, kadang aku bantu-bantu, kadang cuma main sama mereka...” jelasnya.
“Oh...”
***
Banyak hal yang mengejutkan. Dunia tak selalu seperti kelihatannya.
Riko, cowok autis yang kasar, ternyata gak bener-bener autis. Oke, memang dia autis, tapi dia baik kok dan sadisnya itu cuma kalau dia diganggu. Selebihnya? Jauh lebih menyenangkan. dengan anak-anak itu, sekolah gubuk, kantong belanjaan di tangan. Dunia itu aneh ya?
Setelah percakapan itu, aku pulang dengan banyak pikiran berjejalan di otakku. Aku tersesat dalam banakku. Ah, mungkin aku sendiri yang jadi autis. Bahkan sepertinya jadi autis itu menyenangkan.
Setelah hari itu, aku sering sekali kembali ke tempat itu. Tak melakukan apa-apa, hanya bermain dengan mereka. Terkadang mendapat banyak cerita dari anak-anak kampung kumuh itu. Mereka yang terpaksa bekerja untuk bertahan hidup, bekerja di banyak tempat setiap hari. Selallu saja ada cerita untuk di ceritakan.
Riko juga sama. Ceritanya juga banyak. Walau terkadang aku perlu memintannya menjelaskan berkali-kali baru aku mengerti. Hidupnya juga tidak menyenangkan.
Dia anak tunggal. Orangtuanya sibuk bekerja. Dulu pernah sekali ia nyasar saat naik angkot dan berakhir di tempat ini. Sejak itu ia sering bermain bersama anak-anak ini. Uang jajannya selalu ia gunakan untuk membeli makanan, buku dan mainan untuk anak-anak ini. Tak banyak, tapi ia senang.
Pernah suatu kali aku bertanya
“Kamu sering dibilang autis loh sama anak-anak di kelas, kamu kok gak marah?”
“Buat apa marah? Emang aku autis kok...” ujarnya sambil tersenyum. Senyum yang ceria, tapi matanya... Itu mataku. Mata yang penuh kepedihan.
***
Oh... tidak mungkin. Mingkinkah?
Ini... ini, bisa mengubah segalanya. Aku, Riko, anak-anak itu. Dunia kami bisa berubah!
Aku bergegas ke sekolah gubuk.
“Riko... kita bisa merubah keadaan anak-anak ini!” seruku bersemangat saat aku mendapatinya sedang bermain dengan anak-anak kampung kumuh.
“Mia... sabar dulu... rileks... oke, ada apa?”
Lalu semua berhamburan dari mulutku.
Tentang lomba mengarang essay. Surat untuk Pak Presiden. Bagaimana jika aku dan dia bisa memenangkannya kita akan mendapat perhatian soal sekolah ini. Kemungkinan kami mendapat biaya untuk menunjang sekolah ini. Juga kesempatan bicara di depan umum.bahkan mungkin beasiswa keluar negeri.
“Lalu, siapa yang akan ikut?” tanyanya.
“Kita! Aku tahu ini tak akan mudah, tapi kita bisa mencoba! Kau bisa ceritakan semua yang kau tahu, aku yang akan menulisnya. Kita juga bisa meminta anak-anak ini bercerita. Ayo kita coba Rik...” pintaku
“Baik, tapi aku tak menjanjikan apapun, baik itu cerita yang bagus ataupun dukungan yang berarti dariku, aku autis Mia...” dia berkata enteng.
Aku menggeleng. “Kita pasti bisa! Dan kamu nggak autis, nggak buatku.”
***
Perjuangan dimulai.
Bertahun-tahun aku hidup dalam kegelapan. Bullying dari teman-teman, orangtuaku yang sudah tak ada, hidup sendiri, semua itu sudah merubahku menjadi seseorang tanpa rasa. Hatiku membeku. Yang kurasakan hanya frustasi dan sepi. Marah terkadang. Sungguh tak manusiawi. Jika bukan karena manga dan anime aku yakin aku pasti sudah benar mati. Anime dan manga adalah pelarianku.
Tapi semua berubah karena Riko. Perlahan, aku mulai benar-benar merasakan emosi yang selama beberapa tahun ini hanya aku baca dan aku tonton. Aku merindukan perasaan ini.
Aku mulai bekerja. Mengumpulkan cerita dari anak-anak sekolah gubuk, juga dari para guru sukarelawan. Riko membantuku mengumpulkan informasi, terkadang dia menambahkan beberapa hal. Bagaimanapun, sudah lama ia kenal dengan sekolah gubuk ini.
Setelah kira-kira sebulan bekerja, akhirnya essay-ku jadi. Panjangnya 5 halaman. Aku sangat puas dengan apa yang sudah aku kerjakan. Aku sudah berusaha sebaik mungkin. Apapun yang terjadi, aku tak akan menyesal.
Awalnya aku ingin langsung ke sekolah gubuk dan menunjukkan essayku ini padanya. Tapi aku berubah pikiran. Aku mengejutkannya. Jadi aku mengirimkan essay itu terlebih dahulu baru setelah itu ke sekolah gubuk.
Aku mencetak essayku ini dua kali. Satu kukirimkan, satunya akan kutunjukkan pada Riko.
PRANG.
Aku menyenggol jatuh gelas yang ada di meja. Aku mengabaikannya. Aku sudah tak sabar ingin segera bertemu Riko.
Aku bergegas ke sekolah gubuk. Sepanjang jalan sibuk dengan rencana-rencana. Tak sabar rasanya ingin segera memberi tahu cowok autis itu.
Sesampainya di sana, kulihat ada yang tidak beres. Para gurus terlihat murung. Begitu juga dengan anak-anak, bahkan ada anak yang menangis. Ada apa ini?
Oh... tidak. Duniaku berputar. Semua gelap.
***
Semua tak baik-baik saja. Salah. Ini semua salah. Apa ini? Dunia apakah ini? Tak bolehkah aku bahagia? Walau hanya sesaat? Mengapa semua direnggut dariku?
Aku berhasil memenangkan lomba itu. Aku diundang ke istana negara. Pak Presiden menemuiku. Aku diwawancara bersama dengan Pak Presiden.
Tapi semua ini salah.
“Sekolah gubuk ini adalah tempat satu-satunya saya dapat bersenang-senang. Di sekolah, saya selalu dibully oleh teman-teman saya. Mereka menghina saya sebagai anak yatim piatu yang hidup dari belas kasihan orang lain. Saya hidup sendiri. Ibu meninggal saat melahirkan saya, sedangkan ayah meninggal 3 tahun lalu. Anime dan manga adalah satu-satunya pelarian saya. Semua teman menganggap saya freak.”
“Itu bukan hidup yang menyenangkan. Namun saya berhasil bertahan. Lalu kira-kira satu setengah bulan yang lalu, saya mulai mengenal sekolah gubuk. Saya menemukannya secara tak sengaja. Suatu hari, saya mengikuti salah satu teman sekelas saya. Dia seorang cowok autis yang kehidupannya sama tak menyenangkannya dengan saya. Terkadang dia sedikit brutal. Tapi dia tidak nakal. Dia hanya kurang dimengerti. Ia bahkan sudah lama bermain bersama anak-anak di sekolah gubuk. Ia sering membeli buku, makanan dan mainan untuk anak-anak ini dari uang sakunya. Dia benar-benar anak lelaki yang menakjubkan. Dia juga yang membantu saya mengumpulkan bahan untuk essay ini.”
Aku menuturkan semua kisahku saat wawancara.
“Lalu, di mana sekarang anak lelaki yang hebat ini? Apakah dia ikut ke sini bersamamu?” tanya pembawa acara ini.
Aku terdiam.
“Dia koma di rumah sakit. Tepat setelah aku megirimkan essayku, aku bergegas ke sekolah gubuk. Dan... mereka memberitahuku bahwa... bahwa...” suara tersekat di tenggorokan “Cowok autis itu tertabrak mobil.” Aku tersenyum. Air mata mengalir deras membasahi pipiku. Bagaimanapun kerasnya aku berusaha menghentikan air mata ini, tetap tak mau berhenti.
***
“Hey cowok autis! Tebak, aku muncul di TV! Aku bahkan bertemu Pak Presiden! Hebat bukan? Dan... aku bercerita kepada semua orang yang menontonku. Tentang sekolah gubuk, tentang aku, tentang kamu juga...” aku terdiam sesaat “Apa kubilang? Kita berhasil mengubah dunia kita. Anak-anak sekolah gubuk pun sekarang mendapat banyak bantuan. Dan aku, aku berhasil mendapat beasiswa keluar negeri! Hebat bukan?”
“aku rasa aku tak akan kembali... toh aku tak punya siapa-siapa di sini... tapi aku berjanji, paling tidak sekali setahun aku akan pulang, menengokmu, juga anak-anak sekolah gubuk... aku akan pulang sesering yang aku bisa...”
Air mata mengalir deras dari pipiku. Aku berusaha tersenyum. Riko pernah bilang bahwa ia suka melihat orang tersenyum, siapapun itu. Maka aku tersenyum.
Aku meletakkan bunga di atas gundukan tanah itu. Kemudian mengelus nisannya. Riko...
Sehari setelah aku kembali dari istana negara, Riko meninggal. Dia sempat bangun sebentar. Berbicara padaku. Tak lama, hanya beberapa menit. Kami berbicara seolah tak ada apapun yang terjadi. Aku hanya sempat mengatakan aku menang dan dunia kami bisa berubah. Hanya itu. Kemudian dia memejamkan mata, tersenyum, kemudian pergi.
Cowok autis itu akhirnya pergi. Dengan senyum tersungging di wajahnya. Orangtua Riko begitu terpukul dengan kepergian Riko. Mereka histeris. Tapi semua sudah terlambat. Cowok itu sudah pergi.
Aku sendiri akan pergi keluar negeri. Mencoba memulai hidup baru. Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Aku pasti kembali, tapi hanya untuk menengok Riko. Dan anak-anak gubuk. Tapi perjuanganku untuk sekolah-sekolah gubuk lain pasti tak akan berhenti. Mungkin aku akan mengambil jurusan hubugan internasional nanti jika aku kuliah. Atau apapun. Aku tak mau ada lagi anak yang dibully ataupun putus sekolah. Aku akan berusaha. Membuat dunia yang berbeda.

Duniamu, duniaku, dunia mereka
Haruskah selamanya begini?
Angkat wajahmu
Buatlah dunia yang baru
Kau bisa, begitupun aku dan mereka
Buka matamu, lihat dunia
Lalu bangkitlah dan buat dunia yang baru
Jangan biarkan dunia menelanmu
Biar saja mereka yang di atas menutup telinga
Tapi jangan kau
Karena kau yang akan merubahnya
Dengan tangan-tangan kecilmu
Tanganku juga
Dunia yang berbeda, kawan

BY : AMIIRA ALVA SALSABIELLA (AMII)

0 komentar:

Posting Komentar